Dekadensi Moral di Indonesia

    Indonesia, berada tepat di garis khatulistiwa yang membuat negara ini hanya memiliki 2 musim saja yakni musim hujan serta kemarau, terdiri dari 17.504 kepulauan dan dihuni oleh sekitar 255 juta penduduk, negara yang diakui oleh dunia sebagai negara dengan kepulauan terbesar di dunia, menjadikan Indonesia kaya akan keberagaman. Mulai dari terdapatnya bermacam kebudayaan, keindahan alam yang jarang ditemui, memiliki puluhan bahkan ratusan bahasa daerah, rempah-rempahnya yang melimpah, hingga sifat ramah tamah dari masyarakatnya. Tak jarang jika banyak turis baik domestik maupun mancanegara yang ingin menyaksikan keberagaman serta keindahan alamnya secara langsung. 

    Namun pada masa pandemi sekarang, semua kegiatan pun diberhentikan. Oleh karena itu era globalisasi atau era yang penuh dengan kemajuan teknologi ini, telah membawa banyak perubahan bagi dunia, pula tak terelakkan bagi Indonesia. Menyelami dunia maya atau browsing untuk sekedar mencari keindahan alam dari berbagai belahan dunia termasuk yang ada di Indonesia dan juga semakin mudahnya untuk mengakses informasi-informasi terkini baik di dalam maupun luar negeri adalah salah satu dari banyaknya perubahan positif yang dihasilkan. Disamping dampak positif, pada kenyataannya di perkembangan pada era ini, perubahan dan atau dampak negatif pun turut hadir menyertai. Satu dari sekian dampak negatif yang ditakutkan adalah dekadensi moral yang sedang maupun akan terjadi. 

    Menurut Dea Kantri Nurcahya dalam jurnalnya yang berjudul Civic Hukum, volume 4, nomor 2, November 2019; dekadensi moral adalah pengikisan jati diri yang terkait merosotnya tentang nilai-nilai keagamaan, nasionalisme, nilai sosial budaya bangsa dan perkembangan moralitas individu. Hal ini tentu menjadi sorotan penting bagi seluruh masyarakat. Dekadensi moral sering terjadi pada para pelajar. Disebabkan oleh pola pikir mereka yang sudah maju, pikiran yang terbuka, dinamis, dan berkarakter enerjik. Akibatnya mampu membuat generasi muda justru lebih senang untuk lebih mengeksplor hal-hal yang kurang berkaitan dengan jati dirinya. Pencarian jati diri selalu dilakukan selama ia hidup namun puncaknya berada di sekitaran umur 13 hingga 18 tahun. 

    Ditinjau dari sebagian kasus yang terjadi di Indonesia, beberapa besar pelaku utama dari kasus itu adalah remaja atau pelajar yang usianya berada di rentang masa puncak pencarian jati diri tersebut. Seperti kasus narkoba yang banyak memakan korban remaja di bawah umur atau yang masih menjejaki sekolah menengah pertama, kasus pelecehan yang menyebabkan trauma bagi korban, kasus ngebut-ngebutan dijalan atau melakukan balapan liar waktu dini hari hingga membuat warga sekitar terganggu juga resah akibat suara knalpot yang berisik. Kejadian di atas merupakan sebagian kecil dari banyaknya kasus. Bayangkan apabila dekadensi moral ini tidak diatasi dengan baik, Indonesia mungkin tidak akan mampu untuk menghirup udara damai. 

    Kejadian mengerikan yang telah disampaikan ini dapat dihindari dengan 2 faktor yakni, internal dan eksternal. Faktor eksternal ditandai dengan dikelilingi oleh orang-orang yang berkarakter, keadaan lingkungan yang positif, dibarengi oleh tenaga pendidik baik guru maupun dosen yang membantu atau sekedar mengingatkan pelajar untuk selalu berpikir positif, dan yang utama adalah peran orang tua. Menjadi pendengar maupun pemberi nasihat yang baik untuk anaknya. Sedangkan dari faktor internal atau dari dalam diri sendiri, ditandai oleh lebih mendekatkan diri kepada Tuhan YME, menjalankan hari dengan aktivitas atau kegiatan yang baik atau cenderung ke arah positif, juga selalu berusaha untuk memiliki pola pikir yang positif. Dengan demikian, hal-hal negatif yang akan membahayakan diri sendiri juga orang lain, dipastikan dapat menyingkir dengan sendirinya. 

Komentar

Postingan Populer